Seminggu
bersama Edo, Opa Irfan merasa kecapaian. Ada-ada saja acara yang dirancang Edo,
mulai dari ziarah ke kubur ibunya, mengadakan upacara doa dan selamatan di
rumah Erni, wisata ke Bukittinggi,
Danau Meninjau, acara foto-foto bareng yang akan dibawa ke Amerika, dan banyak
lagi yang membuat lelaki 82 tahun itu merasa tersiksa. Lelaki tua itu paham
bahwa Edo ingin berbuat baikpada ayahnya sekaligus ingin melepas segala
kerinduanya. Namu, disisi Opa Irfan, semua itu tak banyak artinya.
Semula ia berjanji
dengan Bang Sanif akan kembali kepanti setelah tiga hari bersama Edo. Di hari
yang kedelapan, hari terakhir Edo berada di Padan, Opa minta diantarkan malam
itu juga ke panti.
“Esok masih ada hari,
Ayah. Besok saja. Sebaiknya Ayah melepasku di bandara, biar aku merasa puas.”
“Tapi justru Ayah
merasa terpukul melepasmu. Seolah-olah itulah hari terakhir kita bersama.
Setelah itu Ayah akan mati. Lebih baik Ayah tidak melihatmu pergi Edo. Antarkan
Ayah malam ini juga kepanti.”
Edo tersentak mendengar
kata-kata ayahnya itu. Lama ia terdiam. Kemudian, katanya, baik Ayah. Kita
kompromi. Esok pagi, sebelum aku berangkat, aku akan antar Ayah dulu ke panti.
Setelah itu, baru aku terus ke bandara.
Opa Irfan tampaknya
setuju. Ia tak membantah lagi dan terus tidur. Menjelang terpejam, ia
mebayangkan sedang berada di warung belakang panti bersama Bang Sanif sambil
ngomong apa saja yang ingin diomongkan. Mereka berdua merasa saling cocok,
saling mendengarkan. Itulah yang dibutuhkan Opa Irfan di masa senjanya.
Akhirnya, ia tertidur setelah lelah tanpa bermimpi selayang pun.
Suasana berkabung
menyambut kedatangan Opa Irfan pagi itu. Bang Sanif telah meninggal sehari
seblumnya denga tenang dan tersenyum. Jenazahnya segera di jemput anak-anaknya.
opaIrfan merasa lemas. Ia menghempaskan tubuhnya yang rentah kekasur. Ia mulai
merasa tak enak badan dan meraa sakit-sakit di seluruh persendianya. Rematiknya
kambuh. Ia meneteskan air mata dan amat merasa
cengeng.
“ Susul aku Irfan,”
seakan-akan suara Bang Sanif mengema dirongga telnganya. Tapi setelah itu,
setelah Erna dan Edo meningalkanya dip anti itu, nafasnya mulai sesak. Makin
lama makin sulit bernapas. Akhirnya, ia meraba-raba meja kecil di samping
tempat tidurnya, memencet bel.
Petugas dikantor piket
kesehatan melihat warna merah di angka 9, lalu mencocokan angka itu dengan nama
penghuninya. Tak lama kemudian, petugas kesehatan berlari-lari sambil mendorong
tabung gas oksigen yang diikuti lanka bergegas seorang dokter di belakangnya.
Kedua perawat dan
dokter itu ternganga ketika melihat jasad Opa Irfan telah kaku di tempat tidurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar