Jumat, 24 Februari 2017

Cerpen tentang Alamat Terakhir

Seminggu bersama Edo, Opa Irfan merasa kecapaian. Ada-ada saja acara yang dirancang Edo, mulai dari ziarah ke kubur ibunya, mengadakan upacara doa dan selamatan di rumah Erni, wisata ke Bukittinggi, Danau Meninjau, acara foto-foto bareng yang akan dibawa ke Amerika, dan banyak lagi yang membuat lelaki 82 tahun itu merasa tersiksa. Lelaki tua itu paham bahwa Edo ingin berbuat baikpada ayahnya sekaligus ingin melepas segala kerinduanya. Namu, disisi Opa Irfan, semua itu tak banyak artinya.
Semula ia berjanji dengan Bang Sanif akan kembali kepanti setelah tiga hari bersama Edo. Di hari yang kedelapan, hari terakhir Edo berada di Padan, Opa minta diantarkan malam itu juga ke panti.
“Esok masih ada hari, Ayah. Besok saja. Sebaiknya Ayah melepasku di bandara, biar aku merasa puas.”
“Tapi justru Ayah merasa terpukul melepasmu. Seolah-olah itulah hari terakhir kita bersama. Setelah itu Ayah akan mati. Lebih baik Ayah tidak melihatmu pergi Edo. Antarkan Ayah malam ini juga kepanti.”
Edo tersentak mendengar kata-kata ayahnya itu. Lama ia terdiam. Kemudian, katanya, baik Ayah. Kita kompromi. Esok pagi, sebelum aku berangkat, aku akan antar Ayah dulu ke panti. Setelah itu, baru aku terus ke bandara.
Opa Irfan tampaknya setuju. Ia tak membantah lagi dan terus tidur. Menjelang terpejam, ia mebayangkan sedang berada di warung belakang panti bersama Bang Sanif sambil ngomong apa saja yang ingin diomongkan. Mereka berdua merasa saling cocok, saling mendengarkan. Itulah yang dibutuhkan Opa Irfan di masa senjanya. Akhirnya, ia tertidur setelah lelah tanpa bermimpi selayang pun.
Suasana berkabung menyambut kedatangan Opa Irfan pagi itu. Bang Sanif telah meninggal sehari seblumnya denga tenang dan tersenyum. Jenazahnya segera di jemput anak-anaknya. opaIrfan merasa lemas. Ia menghempaskan tubuhnya yang rentah kekasur. Ia mulai merasa tak enak badan dan meraa sakit-sakit di seluruh persendianya. Rematiknya kambuh. Ia meneteskan air mata dan amat merasa  cengeng.
“ Susul aku Irfan,” seakan-akan suara Bang Sanif mengema dirongga telnganya. Tapi setelah itu, setelah Erna dan Edo meningalkanya dip anti itu, nafasnya mulai sesak. Makin lama makin sulit bernapas. Akhirnya, ia meraba-raba meja kecil di samping tempat tidurnya, memencet bel.
Petugas dikantor piket kesehatan melihat warna merah di angka 9, lalu mencocokan angka itu dengan nama penghuninya. Tak lama kemudian, petugas kesehatan berlari-lari sambil mendorong tabung gas oksigen yang diikuti lanka bergegas seorang dokter di belakangnya.
Kedua perawat dan dokter itu ternganga ketika melihat jasad Opa Irfan  telah kaku di tempat tidurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar